Sulawesi
Selatan, seperti kebanyakan provinsi di Indonesia, memiliki masyarakat yang
heterogen, baik dari segi suku, bahasa, budaya, dan agama. Setidaknya, ada empat
suku besar di Sulawesi Selatan yaitu suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
Namun juga masih banyak suku-suku kecil lainnya yang sering dianggap sub-suku seperti
suku duri di Enrekang yang tentu memiliki ciri khas tersendiri. Agama penduduk
Sulawesi Selatan pun juga beragam, mulai dari islam, Kristen, hingga agama lokal
minoritas seperti alu’ tojolo.
Setiap suku
tentunya memiliki budaya tersendiri, entah itu dipengaruhi oleh nenek moyang
atau pun yang dipengaruhi agama. Keempat suku di atas beserta suku-suku kecil
lainnya memiliki ciri khas tersendiri, baik itu dari segi budaya maupun bahasa.
Kendati demikian, tetap ada kesamaan-kesamaan yang bisa digali, misalnya
nilai-nilai yang dijunjung. Masyarakat Sulawesi Selatan memiliki nilai
persatuan yang telah ada sejak zaman dulu. Meskipun ekspresi nilai tersebut
berbeda, baik dari penyebutannya maupun dari tradisinya.
Nilai-nilai
persatuan yang tercermin dalam nilai luhur kearifan lokal inilah yang menjaga
keharmonisan dan beragamnya masyarakat Sulawesi Selatan. Terbukti, indeks
kerukunan di Sulawesi Selatan cukup tinggi. Berdasarkan survei Kementerian
Agama pada tahun 2019, indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) di Sulawesi Selatan
yaitu 75,67. Angka ini melewati rata-rata KUB nasional yang berada pada angka 73,83
Angka di atas
patut membuat bangga mengingat beragamnya masyarakat Sulawesi Selatan. Contoh
spesifiknya saja yaitu perbedaan antara Enrekang dan Tanah Toraja yang hidup
berbatasan. Enrekang dihuni oleh mayoritas suku duri dan kebanyakan beragama
islam, sementara Tana Toraja dihuni suku Toraja yang mayoritas memeluk agama
Kristen. Kedua suku mampu hidup berdampingan tanpa konflik besar yang terjadi
dan berlarut.
Jika ditelusuri,
baik masyarakat Enrekang maupun di Toraja memiliki nilai-nilai persatuan yang
telah diturunkan sejak dulu. Dalam masyarakat Toraja, ada tradisi “Tolu Batu
Lalikan” yang memiliki makna persekutuan antara budaya, agama, dan
pemerintah sebagai perekat antar-umat beragama. Dengan tradisi budaya seperti
ini, tidak heran jika kita jarang mendengar gesekan antar-umat beragama di
Toraja meskipun masyarakatnya cukup beragam. Masyarakat antar-beragama bahkan
saling membantu ketika ada perayaan beragama. Misalnya remaja masjid ikut
merayakan natal dan juga kristiani ikut membantu muslim yang merayakan maulid
nabi.
Sementara di
Enrekang, telah ada nilai-nilai persatuan yang telah ditanamkan sejak dahulu
hingga sekarang. Contohnya, dulu suku duri memiliki federasi kerajaan duri,
yaitu persatuan tiga kerajaan duri untuk melindungi mereka dari bahaya luar.
Sekarang pun, masyarakat Enrekang memiliki masserenpulu yang merupakan
persatuan tiga suku di Enrekang, yaitu suku Enrekang, suku duri, dan suku
maroangin. Masserenpulu sendiri memiliki arti yang sangat kuat yaitu
merekat seperti beras ketan.
Selain, di
Enrekang dan Toraja, suku-suku lain juga memiliki nilai luhur yang mencerminkan
persatuan. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, ada prinsip luhur yang berbunyi “sipakatau,
sipakainge, sipakalebbi”. Sipakatau memiliki arti saling
memanusiakan, sipakainge memiliki arti saling mengingatkan, sementara sipakalebbi
memiliki arti saling menghargai atau menghormati. Ketiga nilai luhur ini adalah
kunci keharmonisan masyarakat majemuk. Ketiganya merupakan nilai-nilai yang
mengingatkan bahwa kita harus saling memanusiakan dan menghargai meskipun kita
memiliki perbedaan.
Cerita-cerita di
atas menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki nilai-nilai luhur
memaknakan kemanusiaan dan integritas. Tentunya memang tidak ada masyarakat
yang sempurna di mana sama sekali tidak ada gesekan-gesekan kecil. Contoh
kecilnya, beberapa tahun lalu pernah terjadi sedikit ketegangan di perbatasan
Toraja dan Enrekang karena kesalahpahaman. Kendati demikian, konflik tersebut
tidak membesar dan menjadi konflik masyarakat, melainkan hanya konflik beberapa
orang. Bagaimana pun, kedua daerah memiliki sejarah persatuan di mana dahulu
kala kerajaan Duri dan kerajaan Toraja pernah saling membantu ketika ada perang
Pada akhirnya,
dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat penting bagi kita untuk terus menggali
dan memupuk nilai-nilai luhur dan kearifan lokal dari masyarakat kita. Cerita-cerita
dari berbagai suku di atas menunjukkan bahwa nilai luhur tersebut bisa menjadi
fondasi agar kita terus bersatu. Selama nilai-nilai tersebut terus dijaga, maka
toleransi dalam masyarakat Sulawesi Selatan pun bisa terus dijaga bahkan
ditingkatkan.
Sejauh ini,
sudah ada beberapa upaya untuk memupuk nilai-nilai luhur dalam masyarakat
Sulawesi Selatan. Salah satunya yaitu literasi sipakatau, sipakainge,
dan sipakalebbi yang digagas Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Selatan.
Ke depannya, diharapkan akan ada literasi menjaga toleransi dengan memanfaatkan
nilai-nilai luhur di setiap suku. Siapa tahu, jika kita terus menjaga nilai
luhur persatuan, maka harapan yang pernah dilontarkan Nurdin Abdullah agar
Sulawesi Selatan menjadi miniatur toleransi bisa diwujudkan.
Sebagai generasi
muda, kita juga bisa berperan dengan menjadi agen-agen aliterasi toleransi di
media sosial di mana informasi bisa menyebar cepat. Kita bisa terus menggali
dan memupuk nilai-nilai luhur dalam budaya kita masing-masing. Mungkin saja,
setiap suku di Indonesia memiliki nilai-nilai persatuan yang perlahan
ditinggalkan. Kita jangan sampai kehilangan jati diri kita di tengah kemajuan teknologi.
Toh, kita adalah negara besar yang memiliki semboyan indah yaitu “Bhineka
Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Mari terus menjunjung
persatuan kita.
REFERENSI:
Hadrayani, I., & Karim, A. (2019). Masa Awal dan Terbentuknya Federasi Duri Abad XIV. Pangadereng, Vol 5, No.2, 275-290.
Sila, M. A., &
Fakhruddin. (2019). Indeks Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia.
Ini cara saya untuk merawat
kebersamaan, toleransi, dan keberagaman. Bagaimana cara kamu? Kabarkan/sebarkan
pesan baik untuk MERAWAT kebersamaan, toleransi, dan keberagaman kamu dengan
mengikuti lomba "Indonesia Baik" yang diselenggarakan KBR (Kantor
Berita Radio). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Komentar
Posting Komentar