ucsusa.org |
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa musim kemarau
tahun 2020 akan berawal di bulan April di wilayah Nusa Tenggara. Sementara
Bali, Jawa, sebagian wilayah Kalimantan dan Sulawesi akan memasuki musim
kemarau pada bulan Mei. Puncaknya, kemarau akan meluas di berbagai wilayah
Indonesia pada bulan Juni hingga Agustus. Oleh karena itu, BMKG menganjurkan
masyarakat dan pemerintah untuk mengantisipasi musim kemarau ini. Terlebih
lagi, 30% daerah Zona Musim (ZOM) diperkirakan akan mengalami musim kemarau
yang lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah dan
masyarakat harus mengantisipasi ancaman kekeringan, utamanya krisis air.
Penyebab
kekeringan di berbagai daerah, negara, dan region bisa beragam. Namun, telah
banyak ahli yang menghubungkan keterkaitan antara meningkatnya kekeringan dengan perubahan iklim. Hal ini karena seiring dengan meningkatnya emisi gas
rumah kaca ke udara, temperatur juga ikut meningkat dan menyebabkan air menguap
dari daratan, perairan, dan tanaman. Oleh karena itu, para ahli perubahan iklim
juga telah banyak memprediksikan bahwa ke depannya, jika perubahan iklim tidak
ditangani, kekeringan akan menjadi semakin parah sehingga terjadi krisis pangan
dan air bersih. Jika hal ini terjadi, maka dikhawatirkan akan terjadi penyakit
dan kelaparan di mana-mana. Oleh karena itu, sangat penting untuk membicarakan
terkait antisipasi kekeringan dalam kaitannya dengan perubahan iklim.
Ancaman
kekeringan tentunya bisa diantisipasi dengan melakukan beberapa tindakan. Dalam
Talkshow Ruang Publik KBR bertajuk “Antisipasi Ancaman Kekeringan 2020”,
Purwanto, Pendiri Yayasan Air Kita menyampaikan beberapa cara yang bisa
dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kekeringan seperti menampung air hujan
serta menghemat penggunaan air sehari-hari. Namun, solusi seperti ini hanyalah
solusi jangka pendek. Artinya, cara-cara seperti ini efektif untuk menghadapi
ancaman kekeringan yang sudah ada di depan mata. Namun, efektivitasnya akan
semakin berkurang seiring dengan kekeringan semakin parah akibat perubahan
iklim.
Penjelasan
di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa dibutuhkan solusi jangka panjang
adalam menghadapi krisis air. Terlebih lagi, telah diprediksikan bahwa ancaman
kekeringan akan semakin parah ke depannya. Seperti yang tercantum dalam Catatan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahwa ketersedian air
di Jawa, Nusa Tenggara, dan Bali akan semakin langkah hingga tahun 2030. Jika
prediksi ini ditambahkan pula dengan prediksi global bahwa pola iklim di bumi
akan semakin ekstrim ke depannya, maka semakin jelaslah mengapa dibutuhkan solusi
jangka panjang.
Jika
dikaitkan dengan perubahan iklim, maka solusi jangka panjang yang bisa
dilakukan untuk menghadapi ancaman kekeringan adalah dengan mengurangi emisi
karbon. Di level internasional, telah ada perjanjian di antara negara-negara
untuk mengontrol emisi karbon global, yaitu Paris Agreement yang
sebelumnya dinamai Protokol Kyoto. Maka sebenarnya, solusinya telah ada di
depan mata. Negara hanya perlu mematuhi dengan sungguh-sungguh terkait apa yang
telah menjadi komitmen di level internasional. Hal ini sangat penting sebab
perubahan iklim adalah permasalahan yang tidak bisa dihadapi per negara, maka dibutuhkan
koordinasi yang kuat antar-negara.
Namun,
selain di level global, perlu pula mengindentifikasi masalah krisis air di
level nasional. Sebab, selain masalah perubahan iklim di tingkat global, krisis
air juga disebabkan oleh faktor lain. Dalam Talkshow Ruang Publik KBR, Muhammad
Reza, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) mengatakan bahwa terdapat
dua perspektif dalam memandang krisis air yaitu krisis air sebagai masalah
kelangkaan dan krisis air sebagai masalah ketidakadilan. Masalah kelangkaan
tentunya berhubungan dengan ketersediaan air yang biasanya berkaitan dengan
letak geografis suatu wilayah, seperti misalnya di Afrika yang wilayahnya
memang kering. Namun di negara tropis seperti Indonesia, krisis air yang
terjadi utamanya disebabkan oleh ketidakadilan. Artinya, krisis air terjadi
karena buruknya pengelolaan air, misalnya karena proses politik yang
menimbulkan privatisasi air sehingga hanya kelompok masyarakat tertentu yang
mudah mengakses air bersih.
Dari
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mengatasi krisis air,
dibutuhkan perubahan mendasar dalam pengelolaan air yang lebih berkeadilan. Muhammad
Reza menekankan bahwa sangat perlu peranan serius pemerintah dalam menjaga
lingkungan. Salah satunya dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan. Sebab, banyak kebijakan pemerintah yang justru membahayakan seperti
izin pertambangan dan pembangunan gedung yang tidak memperhatikan kelestarian
lingkungan dan air. Selain itu, pemerintah juga perlu serius dalam
mengantisipasi kekeringan. Pada faktanya, ancaman kekeringan telah datang berulang
di negara kita. Kekeringan itu bahkan dapat diprediksi. Maka jika tidak
dikeluarkan kebijakan yang menyeluruh dalam mengantisipasi hal tersebut, krisis
air dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Argumen
bahwa krisis air yang berulang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak
Asasi Manusia sangatlah beralasan. Buktinya, kita bisa melacak jejak-jejak
kekeringan setiap tahunnya serta bagaimana pemerintah merespon. Pada tahun
2015, 700 kecamatan di berbagai provinsi dilaporkan mengalami kekeringan.
Respon yang dilakukan pemerintah hanya selalu bersifat penanggulangan, misalnya
mengalokasikan dana untuk biaya penyaluran air bersih. Hal seperti ini terus
berulang setiap tahunnya. Tahun lalu pun, pemerintah mendapatkan kritik sebab
dianggap terlalu lambat mengantisipasi kekeringan sehingga ada ancaman
ketahanan pangan. Padahal, keseriusan mengantisipasi krisis air seharusnya
tercermin dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, utamanya kebijakan terkait
pembangunan seperti yang telah disebutkan di atas.
Selain
pendekatan kebijakan, antisipasi krisis air juga bisa dilakukan di akar rumput.
Contohnya, pergerakan Yayasan Air Kita yang memberikan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pentingnya air bersih serta memberikan edukasi bagi anak-anak
untuk melestarikan air agar mereka tumbuh menjadi generasi yang menghargai air.
Yayasan Air Kita melakukan hal ini dengan memanfaatkan berbagai cara, baik
melalui agama maupun kesenian. Hal ini tentunya bisa lebih efektif di tengah
masyarakat yang religius dan juga menghargai budaya. Pesan-pesan melestarikan
lingkungan bisa sampai lebih mudah.
Sebagai penutup, dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun penyebab krisis air, baik perubahan iklim maupun ketidakadilan dalam pengelolaan, solusinya selalu berujung pada bagaimana pemerintah dan
masyarakat menjaga lingkungan. Maka, mari kita terus mengedukasi diri mengenai
lingkungan. Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya kita menghadapi krisis
lingkungan akan kembali pada kesadaran individu-individu dalam masyarakat. Sebab,
kesadaran di level global dan nasional tidak akan berarti jika di level
individu tidak ada aksi nyata untuk mencegah kerusakan lingkungan. Maka, kita
perlu mengubah pola pikir kita tentang cara memandang lingkungan serta
mencerminkannya dalam pola hidup sehari-hari.
*****
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim.
Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim"
yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN).
Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Komentar
Posting Komentar