Sumber: tc-health.com |
Dalam
catatan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, total perokok di Indonesia
mencapai 166 Juta dengan jumlah perokok anak mencapai 8 juta. Jutaan perokok inipun akan melakukan semua aktivitas merokoknya di rumah setelah masyarakat dianjurkan untuk #DiRumahAja selama pandemi Covid-19. Hal ini berarti bahwa polusi asap rokok di rumah
meningkat dan membahayakan semua penghuni rumah, termasuk yang bukan perokok. Masalah
ini semakin parah jika dikaitkan dengan fakta bahwa perilaku merokok ternyata
membuat orang lebih mudah terinfeksi Covid-19. Oleh sebab itu, masalah rokok
menjadi tantangan tersendiri selama pandemi Covid-19. Perlu perhatian khusus
dari pemerintah dan masyarakat untuk mencari solusi atas masalah ini.
Mari
membahas lebih dalam tentang keterkaitan antara Covid-19 dan rokok. Menurut
penelitian, perokok ternyata lebih rentan terinfeksi Covid-19 2,25 kali lipat
lebih besar dibandingkan bukan perokok. Dalam TalkshowRuang Publik KBR bertema “Rumah, Asap Rokok, dan Ancaman Covid-19”, dr. Franz
Abednego Barus mengatakan bahwa hal ini terjadi karena rokok yang masuk ke paru
merusak daya tahan dalam bangunan saluran nafas, yaitu daya tahan mekanik
berupa silia dan daya tahan kimia berupa IgA. Rokok menyebabkan
rambu-rambut halus bernama silia berkurang bahkan gundul sehingga tidak ada
lagi yang mengarahkan zat-zat asing untuk keluar dari saluran nafas. Rokok yang
masuk ke dalam tubuh juga menyebabkan berkurangnya jumlah IgA di saluran
nafas. Akibatnya dua hal ini, perokok menjadi lebih rentan terkena Covid-19.
Ketua
Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto juga
menambahkan beberapa alasan mengapa perokok lebih rentan terhadap Covid-19. Dijelaskan
bahwa rokok memicu terjadinya penyakit Komorbid dimana penderita penyakit ini
memiliki resiko lebih tinggi untuk tertular Covid-19. Selain itu, merokok juga
dapat meningkatkan regulasi reseptor Angiotensin-Converting Enzyme-2
(ACE2) yang merupakan tempat masuknya virus Covid-19. Berdasarkan penelitian, paru-paru
perokok mengandung 40-50% ACE2 lebih banyak dibanding bukan perokok sehingga
virus lebih gampang menyerang.
Selain
meningkatkan resiko terinfeksi Covid-19, rokok juga memperparah komplikasi. Hal
ini dibuktikan sebuah studi yang dilakukan di salah satu rumah sakit di China terhadap
78 pasien Covid-19 selama 2 minggu. Hasil pengamatan menunjukan bahwa 11 pasien
memburuk dan 67 pasien kondisinya membaik. Ditemukan bahwa 27% dari kelompok
yang memburuk memiliki riwayat merokok, sementara dari kelompok yang kondisinya
membaik hanya 3% yang punya riwayat merokok. Hal ini membuktikan bahwa pasien
yang memiliki riwayat merokok lebih sulit sembuh dibanding yang tidak memiliki
riwayat merokok (Liu, et al., 2020) . Selain meningkatkan resiko infeksi dan
dan memperparah komplikasi, rokok juga meningkatkan resiko menularkan. Hal ini
karena penularan Covid-19 bisa melalui droplet yang keluar dari hembusan asap rokok.
Jika
didalami lebih spesifik lagi, ada ancaman lain yang datang dari rokok di masa pandemi
ini selain penjelasan di atas. Hal ini terkait dengan perubahan pola hidup
manusia selama tinggal di rumah, yaitu masalah meningkatnya jumlah kehamilan. Menurut
prediksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pandemi
ini akan menyebabkan meningkatnya angka kehamilan hingga sekitar 420. Hal ini tentunya
membahayakan, bukan hanya karena ancaman Covid-19, namun juga jika dikaitkan
dengan meningkatnya polusi asap rokok dalam rumah selama masa kehamilan.
Dikutip dari KBR.ID, terdapat keterkaitan antara sunting atau gizi buruk dengan
perilaku merokok di mana anak dari orang tua perokok kronis memiliki
probabilitas stunting 5,5% lebih tinggi. Menurut Bernie Endyarni Medise, Ketua
Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), hal ini karena asap rokok
mengganggu penyerapan gizi pada anak sehingga tumbuh kembangnya terganggu. Maka, harus
diwaspadai pula mengenai kelahiran bayi-bayi di tengah pandemi yang bukan hanya
terancam Covid-19 namun juga asap rokok.
Berangkat
dari berbagai ancaman kesehatan di atas, seharusnya masalah rokok menjadi
perhatian dalam upaya memutus rantai Covid-19. Di dalam Talkshow Ruang PublikKBR, Nina Samidi dari Komnas Pengendalian Tembakau mengatakan bahwa larangan
merokok seharusnya ditambahkan ke dalam tiga langkah menghadapi Covid-19 yaitu
cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak. Jika hal ini dilakukan, maka pandemi
Covid-19 juga bisa dijadikan peluang untuk mendorong masyarakat berhenti
merokok. Lebih khususnya lagi, pandemi Covid-19 bisa dijadikan peluang untuk
mendorong terwujudnya rumah sebagai kawasan bebas rokok.
Namun,
tentunya anjuran saja tidak cukup jika kita benar-benar ingin memanfaatkan
peluang menurunkan jumlah perokok di tengah pandemi. Anjuran tersebut juga harus
dibarengi dengan regulasi. Ada beberapa kebijakan yang bisa diambii pemerintah terkait
hal ini. Kita bisa mencontoh Perancis yang secara
drastis mengurangi
jumlah penjualan rokok selama pandemi.
Selain itu, dapat juga dikeluarkan larangan untuk mengantar dan memesan rokok
ke rumah sehingga perokok yang tinggal di rumah tidak dapat memperoleh rokok
dengan mudah. Lebih jauh lagi, dapat pula dilakukan pengawasan penjualan rokok di
tingkat RT dan RW agar pengawasan lebih sempit dan efektif.
Langkah-langkah
di atas merupakan upaya untuk menyulitkan akses masyarakat terhadap rokok. Cara
seperti ini terbukti efektif jika kita belajar dari negara-negara bebas, misalnya
Bhutan. Di Bone-bone, Sulawesi Selatan, akses rokok juga sulit sehingga daerah
ini berhasil mempertahankan wilayahnya sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Bukti lain bahwa akses mudah terhadap rokok
mempengaruhi tingginya jumlah perokok dapat dilihat pada fakta bahwa banyak
anak-anak yang akhirnya jadi perokok sebab rokok sangat mudah ditemukan di
warung-warung kecil dengan harga murah. Terlebih lagi, ada pemilik warung yang
menjual rokok per batang sehingga anak-anak pun bisa mendapatkan rokok hanya
dengan uang jajan. Maka, menyulitkan akses terhadap rokok menjadi langkah yang
beralasan untuk mendorong masyarakat berhenti merokok.
Penjelasan
di atas menyampaikan pada kesimpulan bahwa pandemi ini bisa dijadikan peluang
oleh pemerintah untuk secara perlahan menangani masalah tingginya jumlah
perokok. Namun, selain mengandalkan pemerintah, masyarakat juga mengambil
peranan penting untuk membuat rumah menjadi kawasan tanpa rokok. Ada banyak
cerita di mana orang berhenti merokok karena permintaan dari anggota keluarga
seperti istri dan anak. Maka, di tengah Covid-19 ini, mari berbicara dari hati
ke hati dengan keluarga kita yang perokok. Kita mungkin saja bisa membantu
mereka lepas dari rokok secara perlahan. Bagi perokok, mari mulai memikirkan
kesehatan diri sendiri dan keluarga. Keluarga adalah hal paling berharga di
dunia ini, jangan menjadi alasan mereka menjadi tidak sehat. Mari menjadikan
rumah sebagai tempat nyaman dan aman tanpa rokok. Sebab, sangat disayangkan
bahwa rumah yang seharusnya jadi tempat perlindungan dari Covid-19, malah
menjadi sarang penyakit karena rokok.
*******
Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk
#putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk
#putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi
dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor
Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat
di sini.
Komentar
Posting Komentar