sumber: learnreligions.com |
Kekerasan
Seksual Berbasis Gender adalah salah satu permasalahan besar yang dihadapi
masyarakat dari dulu hingga kini. Setiap hari, ketika membuka sosial media atau
menonton TV, rasanya tidak pernah luput berita terkait kekerasan seksual
terhadap perempuan. Jika ditarik beberapa tahun ke belakang, kita tentu masih
ingat beberapa kasus-kasus perkosaan kejam seperti kasus Yuyun, kasus Eno, dan
lain-lain. Jika ditarik lagi ke belakang, kita tahu dari sejarah mengenai
beberapa perbudakan seksual ataupun perkosaan massal. Tidak salah jika
dikatakan bahwa kekerasan seksual akan selalu jadi luka peradaban yang kini belum
sembuh juga. Semua ini menimbulkan pertanyaan, mengapa kasus kekerasan seksual
begitu sering terjadi?
Pertanyaan
di atas adalah pertanyaan seribu dolar. Namun, konsep “rape culture” atau
budaya perkosaan mungkin bisa menjawab pertanyaan ini. Dalam konsep budaya
perkosaan, dikatakan bahwa toleransi terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual
yang dianggap kecil seperti cat calling dan rape jokes akan
mendukung perilaku-perilaku yang kemudian diprotes seperti menyentuh secara
paksa bahkan hingga perkosaan. Untuk lebih memahaminya, perlu untuk memahami
piramida budaya perkosaan. Piramida ini menunjukkan bagaimana pada bagian bawa
piramida terjadi perilaku-perilaku yang menormalisasi kekerasan seksual, lalu
meningkat jadi degradasi, lalu meningkat hingga jadi kekerasan secara fisik.
Sumber:
11thprincipleconsent.org
Dari
piramida tersebut, dapat dipahami bahwa pada bagian bawah ada normalisasi
kekerasan seksual yang sifatnya hanyalah perkataan namun mencerminkan bagaimana
kekerasan seksual tidak dianggap serius. Misalnya soal rape jokes, orang
bisa saja berdalih bahwa itu hanyalah candaan. Namun, mari bertanya pada diri
sendiri, mampukah kita bercanda atas sesuatu yang kita anggap penting, kejam,
dan sensitif? Atau kita bisa mengambil contoh lain seperti victim blaming
yang justru menempatkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual.
Secara tidak langsung, victim blaming ini justru berpihak pada pelaku
kekerasan seksual sehingga menyebabkan kesan dalam masyarakat bahwa ada alasan yang
membolehkan kekerasan seksual.
Semua
contoh di atas adalah normalisasi kekerasan seksual yang membangun budaya
kekerasan seksual dari bawah. Orang-orang sering mengabaikan hal ini dan
dianggap sebagai sesuatu hal yang kecil, tidak perlu dihiraukan. Ini merupakan
cerminan bahwa masyarakat masih belum memandang serius kekerasan seksual. Padahal,
selama hal-hal seperti ini masih dianggap biasa, maka cita-cita penghapusan
kekerasan seksual tidak akan tercapai. Sebab semangat penghapusan kekerasan
seksual adalah memberantas semua bentuk kekerasan seksual, bukan untuk
menoleransi sebagian bentuk kekerasan seksual. Maka, jika kita benar-benar ingin melawan kekerasan
seksual, berhentilah menormalisasi bentuk kekerasan seksual sekecil apapun.
Komentar
Posting Komentar