Perubahan
iklim merupakan salah satu permasalahan global yang sedang dihadapi bumi dan
manusia saat ini. Beberapa upaya di level global telah dilakukan untuk
mengatasi permasalahan ini. Upaya tersebut berpusat pada penggalangan
solidaritas negara-negara melalui Perjanjian Internasional di bawah
Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satunya yaitu Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Isi perjanjian ini adalah komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) di level nasional agar total emisi GRK bumi tetap stabil. Demi
memenuhi komitmen tersebut, negara-negara lalu mengimplementasikan berbagai
kebijakan di level nasional.
Perjanjian
Internasional memang merupakan langkah besar untuk menyatukan langkah
menghadapi perubahan iklim. Namun, tidak serta-merta permasalahan iklim selesai
begitu saja. Penanganan perubahan iklim, baik mitigasi maupun adaptasi masih
jauh dari kata berhasil. Hal ini
dibuktikan dengan tren emisi bumi yang masih tidak menurun. Hal ini karena, pada
akhirnya, berhasil atau tidaknya negara mengurangi emisi GRK, bukan hanya
tergantung pada keseriusan pemerintah namun juga tergantung pada kepedulian dan
kepatuhan masyarakat. Maka, sangat penting untuk terus menyebarkan kesadaran
mengenai perubahan iklim ke seluruh elemen masyarakat agar turut serta dalam
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kampanye
perubahan iklim sudah mulai digalakkan di mana-mana. Secara empirik, dapat
dilihat bahwa upaya menyebarkan kesadaran perubahan iklim ini dipimpin oleh
anak muda dan juga perempuan. Nama Gretta Thunberg tentunya tidak asing lagi
dalam kampanye perubahan iklim. Ia adalah seorang anak muda dan juga perempuan
yang terkenal dengan aksinya mendorong pemerintah untuk memerangi perubahan
iklim. Sementara itu, di berbagai belahan dunia, banyak perempuan-perempuan
yang kiprahnya tidak setenar Thunberg, namun patut untuk didengar ceritanya
mengenai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah mereka lakukan
di lingkup komunitas masing-masing. Cerita-cerita perempuan inilah yang dibahas
dalam tulisan ini.
Keterkaitan
antara lingkungan dan perempuan bukanlah konsep baru. Konsep ini telah lama
diusung para feminist ke dalam sebuah konsep baru bernama ekofeminisme. Ide
bahasan ekofeminisme setidaknya ada dua, yaitu dampak kerusakan lingkungan pada
perempuan dan bagaimana perempuan berperan dalam menyelesaikan persoalan
lingkungan. Semangat kedua bahasan ini tentunya adalah pemberdayaan perempuan. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa pembahasan mengenai keterkaitan antara perempuan dan lingkungan bisa
menjadi sangat menjebak. Hal ini karena pembahasan tersebut sering kali
mengarah ke asosiasi yang negatif terkait bagaimana lingkungan dan perempuan
sama-sama tidak berdaya dan menjadi sumber eksploitasi. Misalnya, ketika membahas tentang bagaimana perempuan menjadi pihak paling terdampak oleh perubahan iklim, sering kali narasi yang digunakan
justru membuat perempuan seolah tidak berdaya. Maka, sangat perlu untuk
hati-hati dalam membahas asosiasi perempuan dan lingkungan agar asosiasi yang
terbentuk lebih memberdayakan.
Narasi
yang lebih memberdayakan dapat dibuat dengan memfokuskan pembahasan pada
peranan perempuan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dengan demikian,
akan terbentuk pandangan yang lebih positif bahwa perempuan juga memiliki keberdayaan
untuk berperan dalam hal-hal yang berpengaruh besar pada kepentingan publik,
dalam hal ini keberlanjutan lingkungan. Untuk membahas peranan tersebut,
pembahasan dalam tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, pembahasan
terkait peranan perempuan dalam menghadapi perubahan iklim. Kedua, pembahasan
terkait bagaimana peranan perempuan dalam menghadapi perubahan iklim
berpengaruh pada kebangkitan dan keberdayaan perempuan.
Cerita-Cerita Tentang Peranan Perempuan Dalam Menghadapi Perubahan Iklim
Peranan perempuan dalam menanggulangi permasalahan perubahan iklim sudah dapat dilihat di berbagai belahan dunia. Di India di mana ketidaksetaraan gender begitu tinggi, ada banyak cerita di mana perempuan memimpin gerakan menghadapi perubahan iklim. Salah satunya yaitu cerita dari Janakpur, India Utara di mana para petani perempuan mulai mengubah cara bertani yang lebih ramah lingkungan. Salah satu hal signifikan yang mereka lakukan adalah mengganti penggunaan pestisida dengan kotoran kambing sebagai pupuk. Di Afrika Barat, juga terdapat cerita tentang bagaimana para petani perempuan melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka mempelajari bagaimana membudidayakan buah dan sayuran yang bisa hidup di lahan kering dan kurang subur.
Di Indonesia sendiri, sudah nampak berbagai gerakan kepedulian lingkungan dan perubahan yang dipimpin oleh perempuan. Salah satunya yaitu Program "Perempuan Sahabat Pengendalian Perubahan Iklim" oleh Kongres Wanita Indonesia. Salah satu kegiatan dari program ini yaitu kerjasama dengan KLHK dalam melakukan penanaman mangrove di Taman Wisata Mangrove Kapuk. Kegiatan ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana komunitas perempuan melakukan kegiatan-kegiatan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Bentuk kepedulian lain bisa juga dilihat pada petani perempuan di Kendeng, Jawa Tengah yang melakukan protes selama bertahun-tahun terhadap pembangunan Pabrik Semen di wilayah mereka. Ketika salah satu petani perempuan Kendeng, Yukisina diwawancarai mengenai alasannya melakukan protes, ia menjawab bahwa dia adalah seorang perempuan yang memiliki keterkaitan kuat dengan alam. Dari pernyataanya, jelas bahwa protes tersebut bukan semata ketakutan kehilangan lahan yang menjadi sumber pencaharian, namun juga karena kecintaan terhadap bumi. Berikut pernyataan Yusukina yang mewakili para petani perempuan Kendeng:
“Alasan utamanya bagi aku karena aku seorang perempuan. Jadi ibu bumi itu aku ibaratkan seperti ibu aku sendiri yang sudah melahirkan aku. Kalau seorang perempuan melahirkan manusia, tapi ibu bumi melahirkan air, melahirkan tanaman yang bisa dimakan oleh makhluk hidup yang di sekitar situ.”
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa sudah banyak kisah di mana perempuan memiliki perasanan penting dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Bahkan pernyataan Yusukina menunjukkan bentuk yang sangat mendalam terkait hubungan antara dirinya sebagai perempuan dengan alam. Namun, kendati sudah banyak kisah di mana perempuan berperan dalam pelestarian lingkungan, tentu saja masih diperlukan upaya untuk meningkatkan peranan tersebut mengingat tantangan perubahan iklim kian meningkat. Lalu, bagaimana cara meningkatkan peranan perempuan dalam pengendalian perubahan iklim, terutama jika dikaitkan dengan kekangan patriarki?
Posisi
mayoritas perempuan yang masih tercekang dalam patriarki bisa dimanfaatkan
untuk membebaskan perempuan dari patriarki itu sendiri. Misalnya, karena
kebanyakan perempuan masih berperan di ranah domestik, maka perempuan bisa
menjadi garda terdepan dalam menerapkan hidup ramah lingkungan di lingkup rumah tangga. Misalnya dengan
mengurangi penggunaan sampah plastik rumah tangga, mengurangi food waste, menggunakan perabotan bebas
CFC, menghemat penggunaan listrik, dan hal-hal lain yang berpengaruh pada
pemanasan global.
Selain
hal di atas, posisi perempuan yang sering dibebani sepenuhnya dalam pengasuhan
anak juga bisa dimanfaatkan. Para ibu bisa memperkenalkan pola hidup ramah
lingkungan kepada anak-anaknya. Hal ini sangat penting sebab, perilaku peduli
lingkungan harus dibangun dari kebiasaan. Ketika sudah besar, anak-anak inilah
yang akan memasuki berbagai bidang yang berdampak pada kerusakan dan perbaikan
lingkungan, mulai dari ekonomi hingga politik.
Kedua
contoh di atas merupakan gambaran bagaimana perempuan bisa memberdayakan diri
dalam ketidakberdayaan akibat patriarki. Sekilas, hal-hal tersebut nampak tidak
signifikan, namun bayangkan jika semua ibu rumah tangga di Indonesia mengimplementasikannya.
Tentu saja, hal di atas baru bisa terjadi jika kesadaran untuk menjaga
lingkungan. Maka semakin tinggi kesadaran para perempuan, semakin signifikan
pula dampaknya.
Mendorong
peranan perempuan dalam menyelesaikan persoalan lingkungan perlu dilakukan secara
terstruktur dan terorganisasi. Jika melihat pola-pola peranan perempuan yang
telah dipaparkan di atas, terdapat satu kesamaan yaitu adanya lembaga atau
organisasi yang mendampingi. Para petani perempuan di Janakpur mendapat
pelatihan dari Gorakhpur Environmental
Action Group (GEAG). Begitu pun dengan para petani perempuan di Afrika Utara yang mendapat asistensi dari International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics
(ICRISAT). Pendampingan memang sangat penting,
terutama di negara berkembang sebab tingkat pendidikan yang masih rendah.
Namun,
tentu saja tingginya pendidikan masyarakat juga belum tentu berbanding lurus
dengan tingkat kepedulian pada lingkungan. Contoh nyatanya saja, ada beberapa
pemimpin dunia yang tidak percaya pada perubahan iklim, misalnya Donald Trump. Maka,
sangat penting untuk terus menyebar kesadaran terkait permasalahan lingkungan.
Pemerintah dan berbagai LSM perlu turun tangan untuk mempromosikan kesadaran
lingkungan, terutama pada perempuan. Perkumpulan Ibu Rumah Tangga, seperti PKK
dan pengajian bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan peduli lingkungan
secara lebih efektif. Para perempuan ini akan menjadi agen perubahan di rumah
tangga dan lingkungan masing-masing.
Refleksi Kebangkitan Perempuan Dalam Peranannya Menghadapi Perubahan Iklim
Pengaruh
peningkatan peranan perempuan dalam pengendalian iklim terhadap kesetaraan
gender nampak dalam cerita perempuan petani di India yang sempat disinggung di
atas. Para perempuan petani tersebut adalah korban pernikahan dini. Untuk
mengikuti pelatihan saja, mereka harus kesulitan mendapatkan izin suami bahkan
mendapatkan kekerasan fisik. Mereka bahkan mendapat julukan tea-mosa gang, sebuah cibiran untuk
menyindir bahwa mereka menyia-nyiakan waktu dengan mengikuti pelatihan.
Namun,
ada juga cerita menggembirakan dari para perempuan petani ini. Salah satunya
cerita dari Devi yang kemudian mendapatkan kepercayaan dari suaminya setelah
apa teknik bertani yang ia pelajari berhasil. Tentu tidak semua perempuan yang
mengikuti pelatihan berakhir seperti Devi. Namun, secara keseluruhan, keberanian
perempuan untuk mengikuti pelatihan telah sedikit banyak mengubah hubungan
timpang laki-laki dan perempuan. Para perempuan yang awalnya tinggal di rumah,
tidak berdaya, mulai mengikuti berbagai pertemuan dan menjadi produktif. Yang
lebih penting lagi, mereka berani mengambil keputusan itu sendiri.
Dari cerita-cerita para perempuan petani di
Janakpur, Afrika Utara, hingga di Kendeng, ada kesamaan yang bisa kita lihat.
Para perempuan ini menjadi lebih aktif dalam ranah publik, mulai dari mengikuti
pertemuan dan pelatihan hingga melakukan protes di publik demi menjaga
lingkungan. Ada keberdayaan yang terlihat dalam aksi-aksi mereka. Maka tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa peranan perempuan dalam menjaga lingkungan
memiliki timbal balik terhadap posisi mereka dalam patriarki. Saat ini,
keberdayaan itu memang nampak belum signifikan. Namun, seiring dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat tentang masalah perubahan iklim, maka
perempuan akan dengan sendirinya lepas dari label “masyarakat kelas kedua.” Hal
ini berangkat dari asumsi bahwa perempuan selalu dipandang remeh sebab dianggap
hanya mampu berkutat pada sektor yang dianggap tidak penting seperti ranah
domestik.
Keterkaitan
antara peranan perempuan dalam pengendalian perubahan iklim dan keberdayaannya
dalam patriarki juga bisa ditarik dari fakta bahwa perempuan mendapat dampak
paling besar dari efek perubahan iklim. Jika perempuan adalah pihak yang paling
terdampak, maka perempuanlah yang harus berada di garda terdepan dalam
pengendalian perubahan iklim. Dengan demikian, akan nampak keberdayaan
perempuan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Hal ini akan memecahkan konstruksi
sosial bahwa perempuan lemah dan tidak bisa melindungi diri sendiri. Padahal,
perempuan lebih dari mampu melindungi diri sendiri, bahkan memimpin gerakan
untuk melindungi bumi.
Dapat
disimpulkan bahwa setidaknya ada dua poin utama terkait peranan perempuan dalam
memerangi perubahan iklim. Pertama, peranan perempuan dalam pengendalian iklim
akan membuat perempuan lebih berdaya. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana
perempuan menjadi lebih tampil di ruang publik demi menyuarakan penyelamatan
lingkungan serta bagaimana mereka berjuang untuk belajar melawan perubahan
iklim meski mendapat tentangan dari suami mereka. Lalu muncullah sisi lain di
mana keberdayaan perempuan tersebut membuat perempuan semakin memiliki
kesempatan untuk berperan besar dalam pengendalian perubahan iklim. Sebab,
semakin setara posisi perempuan dalam masyarakat, maka semakin besar pula akses
untuk bersuara di ruang publik. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa
perempuan harus berada di garda terdepan dalam memerangi perubahan iklim.
Sebagai
penutup, mari menekankan bahwa semua perempuan dapat berperan dalam memerangi
perubahan iklim dengan kapasitas masing-masing. Para perempuan yang berperan
dalam organisasi atau komunitas tertentu dapat bergerak untuk menyebarkan
kesadaran mengenasi isu perubahan iklim. Sementara itu, para petani perempuan
yang berada dalam dampingan NGO dapat belajar untuk melakukan adaptasi terhadap
perubahan iklim agar tetap bisa bertahan dan berproduksi. Para perempuan yang
berperan di rumah tangga pun dapat memanfaatkan
posisinya untuk memimpin keluarga dalam menjalani pola hidup yang ramah
lingkungan. Dengan demikian, setiap perempuan adalah pemimpin dalam melindungi
lingkungan, minimal pemimpin bagi diri sendiri.
*****
Saya
sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan
mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR
(Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda
lihat di sini.
Komentar
Posting Komentar