digitalmarketinginstitute.com |
Beberapa dekade terakhir dalam era globalisasi, manusia telah memasuki
suatu era baru yang disebut era digital. Era digital ini muncul bersamaan
dengan media baru (new media) yang
lahir dari perkembangan teknologi komunikasi yang pesat. Media baru mencakup semua fungsi
komunikasi massa, dengan fungsi utamanya sebagai surveillance, yaitu
memberikan informasi kepada khalayak. Khalayak media massa sendiri memiliki
sifat dan karakteristik tersendiri yaitu; (1) jumlah yang besar, (2) ada di
berbagai tempat, (3) tidak interaktif kecuali dengan bantuan komunikasi telepon,
(3) terdiri dari lapisan masyarakat yang sangat heterogen, (4) tidak terorganisir,
dan (4) bergerak sendiri. Konsekuensi dari karakteristik ini yaitu informasi
menyebar secara luas di berbagai lapisan masyarakat dengan sangat cepat dan
tidak terkendali (Bungin, 2008) .
Media sosial lahir dari media baru. Dengan karakteristik media baru di
atas, maka media sosial merambah ke segala aspek kehidupan manusia, termasuk
politik. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Indonesia, Ghana, Zimbabwe, dan
lain-lain menggunakan media sosial sebagai salah satu alat kampanye politik. Media
sosial dapat menjadi alat komunikasi antara publik atau masyarakat umum dalam
pemerintah beserta para politikus. Di satu sisi, politikus dapat mempromosikan
dirinya melalui media sosial serta melihat perkembangan opini publik. Di sisi
lain, masyarakat juga menyampaikan opini dan aspirasinya melalui media sosial.
Hal yang dibicarakan di media sosial dapat menyebar begitu cepat sehingga dapat
dijadikan alat yang efektif untuk memulai pergerakan ataupun kampanye. Karena
alasan inilah, medis sosial dapat dijadikan alat komunikasi untuk mengangkat
isu penting (Anshari, 2013) .
Salah satu isu penting yang belum populer baik di kalangan publik maupun pemerintah adalah isu
lingkungan. Kerusakan lingkungan semakin meningkat dan bervariasi dari waktu ke
waktu. Isu lingkungan yang menggelisahkan bahkan secara global adalah isu
perubahan iklim (climate change). Isu
ini telah banyak dibicarakan di forum-forum internasional yang dibawahi oleh PBB
di mana Indonesia juga mengambil bagian. Bahkan dibentuk suatu rezim
internasional bernama Protokol Kyoto untuk khusus membicarakan masalah
perubahan iklim setiap tahunyna. Indonesia juga turut menandatangani perjanjian ini (UNFCCC, 2018) .
Sayangnya, pembicaraan tentang perubahan iklim masih belum menjadi pembicaraan
yang serius di dalam negeri. Dalam pemerintahan Indonesia, pembicaraan tentang
lingkungan masihlah menjadi beban Kementerian Lingkungan dan menjadi beban Kementerian Luar Negeri ketika di bawah ke forum internasional. Secara
umum, politikus saat ini masih sibuk membicarakan politik itu sendiri, ekonomi,
infrastruktur, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dari pembicaraan para
pejabat legislatif maupun politikus nun-pejabat di berbagai media mainstream maupun media
sosial yang tidak menyinggung permasalahan lingkungan.[1] Padahal, perubahan iklim semakin mengancam dan pada
akhirnya perencanaan ekonomi akan sia-sia jika lingkungan rusak. Oleh karena
itu, pemerintah seharusnya menjadikan lingkungan sebagai pertimbangan penting
dalam setiap pengambilan kebijakan. Misalnya, ketika mengambil kebijakan
mengenai pembangunan, maka pemerintah harus mempertimbangkan dampaknya terhadap
lingkungan. Inilah yang disebut dengan mengarusutamakan isu lingkungan dalam
pengambilan keputusan (decision making).
Media sosial dapat dijadikan sebagai alat untuk
menyebarkan isu lingkungan hingga masuk ke ranah politik. Kunci untuk
menjadikan hal ini sebagai satu pergerakan adalah dengan menandai semua
postingan dengan hashtag.
Kekuatan hashtag
telah dilihat dalam berbagai isu seperti isu gender dengan hashtag Mee
Too (#MeeToo), isu pemilihan presiden seperti dengan 2019 Ganti Presiden
(#2019GantiPresiden), dan lain-lain. Oleh karena itu, tagar pun bisa dijadikan
alat untuk membuat isu lingkungan menjadi perhatian publik dan pemerintah. Awal
dari perubahan opini publik adalah dengan memberikan sebanyak mungkin wawasan
terkait isu tersebut.
Gregory Mankiw, seorang Profesor ekonomi di Universitas Harvard yang juga banyak bekerja dengan tokoh publik
di Amerika Serikat, bepependapat bahwa untuk mengubah pandangan pemimpin
tentang suatu isu, maka terlebih dahulu harus mengubah pandangan publik. Menurut Mankiw, para politikus yang sering disebut
pemimpin terpilih sebenarnya justru adalah para pengikut terpilih, mereka
melakukan apa yang diinginkan publik. Dengan kata lain, dalam mengambil
kebijakan, pemerintah mendahulukan isu yang banyak menjadi perhatian dan
keresahan publik. Maka tahapnya adalah pergerakan dimulai dari para aktivis
lingkungan untuk menarik perhatian publik. Lalu publik akan membicarakannya
secara luas dan menekan pemerintah untuk mengikuti. Sebab sebenarnya pemerintah
adalah pengikut yang terpilih.[2]
Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam menangani
perubahan iklim adalah dengan mengurangi penggunaan plastik. Hal ini berangkat
dari fakta bahwa penyebab utama terjadinya perubahan iklim yang tidak menentu
yaitu aktivitas manusia, khususnya pembakaran bahan fosil (tembaga, minyak, dan
gas).[3]
Salah satu hal yang paling menyumbang untuk aktivitas ini yaitu pembuatan
plastik. Produksi plastik membutuhkan 8 % dari total produksi minyak dalam satu
tahun. Selain itu, Environmental
Protection Agency (EPA) mengestimasikan bahwa sekitar 5 ons Karbon Dioksida
dihasilkan dari setiap satu ons polister yang banyak digunakan dalam pembuatan
botol plastik (Glazner, 2015) .
Berdasarkan fakta di atas, maka salah satu pergerakan
yang dapat dimulai di media sosial adalah kampanye pengurangan penggunaan
plastik. Menurut Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Novrizal Tahar, sejak 2002 hingga 2016 terjadi peningkatan
jumlah sampah plastik sebesar 5 persen. Peningkatan sampah plasti tadinya 11
persen meningkat menjadi menjadi 16 persen. Bahkan di beberapa kota
komposisinya ada yang sudah mencapai 17 persen. Faktor utama yang menyebabkan
peningkatan ini berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat
yang ingin serba mudah dan instan. Novrizal Tahar juga
mengatakan bahwa dengan kondisi seperti sekarang, diperkirakan pada tahun 2030
komposisi sampah plastik akan melebihi 25 persen dan pada 2050 bisa mencapai 40
persen (Pitojoko, 2018) . Hal ini berarti, produksi plastik juga
semakin meningkat dan perubahan iklim akan semakin memburuk.
Menurut Anang Sudarna, Kepala Badan Perlindungan
Lingkungan Hidup di Jawa Barat, permasalahan plastic harus diselesaikan dengan
melibatkan kekuasaan politik tingkat. Sementara Profesor Ad Ragas, seorang ahli
lingkungan hidup dari Universitas Radboud di Belanda, berpendapat bahwa pemerintah
Indonesia masih belum menganggap permasalahan sampah sebagai persoalan serius.
Pernyataan ini disampaikan dalam loka karya yang ia adakan dua tahun lalu. Kabar
baiknya, dua bulan lalu ketika ia mengadakan loka karya yang sama, ia
menyampaikan bahwa terdapat sedikit perubahan. Foto-foto sungai dengan sampah
menggunung membuat masyarakat sedikit lebih sadar akan dampak dari perbuatan
yang mereka lakukan. Hal ini membuktikan bahwa sosial media juga turut
mempengaruhi pola pikir masyarakat tentang sampah (Wismabrata, 2018) .
Namun tentu saja hal ini belum cukup. Pola pikir
masyarakat harus berubah secara luas dan permanen untuk bisa menimbulkan efek
yang signifikan terhadap pengurangan penggunaan sampah plastik. Jika dikaitkan
degan konsep dari Mankiw yang telah disebutkan di awal, sebenarnya tahap awal
sudah mulai ada di Indonesia, yaitu banyaknya aktivis yang menyuarkan tentang permasalahan
plastik. Misalnya NGO seperti Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) yang
menyuarakan dengan tagar End Plastic
Pollution (#EndPlasticPollution).[4]
Hal yang perlu diperbaiki tentu saja adalah bagaimana
membuat permasalahan
ini menjadi terkenal di kalangan publik. Salah satunya adalah dengan tagar yang
lebih membumi untuk seluruh lapisan masyarakat seperti “Akhiri Sampah Plastik”
(#AkhiriSampahPlastik). Selain itu, hastag dapat lebih spesifik ke cara
mengurangi penggunaan plastik seperti “Jangan Lupa Bawa Tumbler”
(#JanganLupaBawaTumbler). Salah satu penggunaan plastik yang tinggi yaitu air
kemasan baik botol maupun gelas sehingga salah satu cara menguranginya yaitu
dengan membawa air minum dari rumah. Selain itu, sampah plastik yang juga
dengan mudah dapat dikurangi yaitu penggunaan kantong kresek yang dapat diganti
dengan selalu membawa totebag. Hashtag
lain yang sifatnya lebih mendorong misalnya “Darurat Plastik” (#DaruratPlastik)
atau yang lebih umum seperti “Ancaman Perubahan Iklim”
(#AncamanPerubahanIklim).
Pemerintah saat ini telah menetapkan target baru dalam pengelolaan sampah plastik dengan pengurangan
hingga 30 persen dan pengelolaan sebesar 70 persen pada 2025 mendatang. Oleh
karenanya Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres nomor 18 tahun 2017 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Rumah Tangga (Pitojoko, 2018) . Kabar ini tidak ramai di masyarakat.
Apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi sampah sebanyak 30
persen? Jika saja publik lebih sadar akan persoalan sampah, maka langkah terakhir
adalah pengawalan terhadap usaha pemerintah oleh publik. Namun permasalahan
utama saat ini adalah pola pikir publik. Maka pelajar dan para aktivis haruslah
berada di barisan terdepan untuk mengedukasi publik. Cara termudah yang bisa
dilakukan adalah memborbardir media sosial dengan berbagai postingan tentang
sampah dan menggunakan hashtag kreatif. Terakhir, mari kurangi penggunaan plastik,
kurangi produksi plastik, dan perketat peraturan terkait plastik.
REFERENSI
Anshari, F. (2013,
Oktober). Komunikasi Politik di Era Media Sosial. Jurnal Komunikasi Volume
8, Nomor 1, pp. 91-102.
Bungin, B. (2008). Sosiologi
Komunikasi: Teori, Paradigma,dan Diskursus Teknologi Komunikasi di
Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Glazner, E. (2015). Plastic
Pollution and Climate Change. Retrieved from Plastic Pollution Coalition:
http://www.plasticpollutioncoalition.org/pft/2015/11/17/plastic-pollution-and-climate-change
Pitojoko, R. A. (2018, Juli 26). Sampah
Plastik di Indonesia Jadi Perhatian Presiden Bank Dunia (Ed: Erlangga
Djumena). Retrieved from Kompas: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/26/135610326/sampah-plastik-di-indonesia-jadi-perhatian-presiden-bank-dunia
UNFCCC. (2018). UNFCCC Sites and
Platform. Retrieved from United Nation Climate Change:
https://unfccc.int/
Wismabrata, M. H. (2018, April 23). Krisis
Sampah Plastik Ancam Indonesia, Seberapa Parahkah Kondisinya? Retrieved
from Kompas:
https://sains.kompas.com/read/2018/04/23/190600123/krisis-sampah-plastik-ancam-indonesia-seberapa-parahkah-kondisinya-
[1]
Dapat lilacak pada media mainstream yang banyak membicarakan politik seperti
TVOne and MetroTV. Serta juga media sosial resmi partai politik dan akun
pribadi para politikus.
[2]
Dalam wawancara Leonardo DCaprio dengan Grogory Mankiw untuk film dokumenter
berjudul “Before The Flood” yang dirilis pada tahun 2016
[3]
National Research Council of The National Academy
[4]
Dapt dilihat pada akun instagram @kophisulsel
*******
Disclaimer: Tulisan ini merupakan "Best Essay" Lomba Esai Mahasiswa Tingkat Nasional dalam event Dimensi Komunikasi VI HIMIKOM UMI 2018
Komentar
Posting Komentar