Membangun Generasi Anti Budaya Perkosaan Melalui Pendidikan Karakter ala Ki Hajar Dewantara


Salah satu permasalahan yang terus memburuk saat ini adalah masalah tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan [1]. Semakin memburuknya permasalahan kekerasan seksual membuktikan bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki suatu solusi efektif yang bisa mengurangi angka kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Hal ini diperburuk dengan kurang sadarnya masyarakat Indonesia terhadap permasalahan ini. Oleh karena itu, pihak-pihak yang bertanggung jawab pada moral bangsa sudah harus memikirkan cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong perubahan. Perubahan ini hanya dapat terjadi jika penanganan kekerasan seksual dilakukan dari akarnya.
Akar dari tingginya kasus kekerasan seksual adalah budaya perkosaan (rape culture). Budaya perkosaan adalah situasi sosial di mana perkosaan dianggap biasa dan cenderung dimaklumi. Budaya perkosaan tercermin dalam banyak hal, seperti media pemberitaan, sastra, dan bahkan kehidupan sehari-hari (Kusumah, 2017). Media sering kali memberitakan kasus perkosaan dengan gaya penyampaian yang cenderung menyalahkan korban. Sementara di dalam sastra, budaya perkosaan muncul secara halus dari bahasa-bahasa yang digunakan (Yulianto, 2016) [2]. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya perkosaan paling jelas terlihat jelas dalam victim blaming yaitu menyalahkan korban atas perkosaan yang dialaminya dengan berbagai alasan, misalnya baju yang dianggap terbuka. Contoh budaya perkosaan yang lebih halus dapat dilihat dalam candaan-candaan misoginis yang sering dilontarkan. Misalnya candaan yang berbunyi “Hidup itu seperti diperkosa, suka tidak suka, mau tidak mau, harus dinikmati(Wazier, 2013).
Pendidikan karakter yang pertama kali ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah suatu cara yang bisa diterapkan untuk melakukan revolusi mental generasi muda. Pendidikan karakter merupakan upaya pembiasaan untuk melakukan perbuatan terpuji yang dilakukan sejak kecil hingga dewasa (Dewantara, 1966). Maka, pendidikan karakter pada hakikatnya bukanlah mengajarkan teori-teori moral dan nilai, melainkan mendorong pembiasaan berbuat baik pada diri anak-anak hingga terinternalisasi kuat ke dalam dirinya (Nata, 2005). Konsep pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara meliputi beberapa konsep lain yaitu Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Tut Wuri Handayani, dan Pancadharma. Namun, konsep yang relevan dengan tulisan ini adalah konsep Tripusat Pendidikan. Tripusat pendidikan merupakan konsep yang menekankan bahwa sistem pendidikan bukan hanya melibatkan lingkungan sekolah melainkan juga lingkungan keluarga dan masyarakat (Tauchid, 2004).
Konsep pendidikan karakater Ki Hadjar Dewantara tidak menyinggung jender, apalagi soal budaya perkosaan. Ki Hadjar Dewantara dalam buku “Bagian Ketiga: Politik dan Kemasyarakatan” pernah menyinggung masalah perempuan, namun tidak didasari pada perspektif jender. Oleh karena itu, ide tentang membangun generasi muda yang anti budaya perkosaan melalui pendidikan karakter bukanlah murni pemikiran Ki Hadjar Dewantara, melainkan hanya sebuah adaptasi. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara relevan dengan ide ini karena konsep tersebut berdasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan adalah pembudayaan. Maka, dasar ini dapat digunakan untuk membangun budaya anti kekerasan seksual, terutama pada generasi muda (Tauchid, Soeratman, Lahade, Soendoro, & Abdurrachman, 1962).
Seperti pada penjelasan sebelumnya, budaya perkosaan sebenarnya adalah hal yang secara tidak sadar dibangun di dalam masyarakat. Maka, dibutuhkan suatu revolusi besar melalui keluarga, masyarakat, dan terutama sekolah untuk membentuk karakter anak yang anti budaya perkosaan. Hal ini terkait dengan konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai Tripusat Pendidikan bahwa pembudayaan nilai dan moral terhadap anak-anak hanya bisa tercapai jika ketiga elemen saling bersinergi.  Pembudayaan suatu nilai tidak akan efektif jika ketiga elemen ini tidak bersinergi. Hal ini karena pengaruh ketiga elemen tersebut dapat berbeda-beda, tergantung lingkungan mana yang lebih sering mengelilingi anak. Misalnya, di lingkungan keluarga anak-anak diajarkan nilai-nilai baik, namun lingkungan masyarakat membuat seorang anak berperilaku buruk.
Lingkungan keluarga memiliki peranan yang sangat krusial sebagai lembaga pendidikan pertama yang mewadahi anak-anak. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai kepada anak laki-laki dan perempuan bahwa mereka setara dan harus saling menghargai. Pembiasaan dapat dilakukan dengan tidak membeda-bedakan tugas yang diberikan orang tua kepada anak-anak sehingga tidak ada yang merasa superior atas yang lainnya. Hal ini karena kekerasan seksual sebenarnya muncul akibat ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, orang tua harus membekali keterampilan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuan. Misalnya, keterampilan menjaga diri tidak boleh hanya diberikan kepada laki-laki sementara perempuan diajarkan untuk menyembunyikan diri di rumah atau dibalik perlindungan laki-laki (Gill, 2007).
Di lingkungan sekolah, seluruh perangkat pengajar memiliki peranan penting untuk meluruskan pemikiran umum dalam masyarakat bahwa perempuan yang tidak memakai pakaian tertutup pantas diperkosa (Djuk, 2011; Chaerunnisa, 2017). Beberapa saat lalu, muncul berita mengejutkan terkait soal ujian yang menanyakan mengenai penyebab perkosaan. Soal pilihan ganda tersebut menyajikan pilihan-pilihan yang semuanya memojokkan korban.  Dalam kasus Agni pun, salah satu pejabat di UGM sempat menyatakan hal yang memojokkan korban yaitu “Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.(Maudy, 2018).  Hal ini menjadi pelajaran berharga bahwa lembaga pendidikan saja butuh reformasi mental terkait pandangan mengenai kekerasan seksual.
Masyarakat secara umum dapat mengambil peran dengan tidak memaklumi dan mewajarkan sikap nakal anak laki-laki. Permasalahan merupakan hal yang sangat merusak sebab mereka akan tumbuh dengan pemikiran seperti itu. Masyarakat juga perlu berhenti menganggap kasus pelecehan seksual sebagai suatu hal yang ringan. Contohnya ketika Via Vallen menceritakan pelecehan yang dialaminya, banyak masyarakat yang justru menyalahkan Via Vallen dan menganggapnya hanya mencari perhatian. Hal seperti ini sangat perlu di ubah agar anak-anak yang akan menjadi penerus bangsa tidak tumbuh dalam budaya yang menormaliasi kekerasan seksual (Putri, 2018).
Budaya perkosaan merupakan hal yang sudah terlanjur terbangun kokoh dalam masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi berbagai pihak untuk merekonstruksi budaya tersebut. Generasi penerus adalah harapan untuk mengubah peradaban. Maka pendidikan karakter bagi generasi penerus adalah cara yang bisa dilakukan untuk menghancurkan budaya perkosaan hingga tidak tersisa lagi. Generasi muda akan menjalani peradaban yang membudayakan penghargaan terhadap hak asasi manusia, termasuk keamanan perempuan. Dengan demikian, pintu harapan untuk bisa menurunkan angka kekerasan seksual bisa terbuka lebar.


DAFTAR PUSTAKA


Chaerunnisa. (2017, Oktober 31). Pengacara Ini Sebut Perempuan Pakai Jins Sobek Pantas Diperkosa. Retrieved from Suara.com: m.suara.com/lifestyle/2017/10/31/113410/pengacara-ini-sebut-perempuan-pakai-jins-sobek-pantas-diperkosa
Dewantara, K. H. (1966). Asas-Asas dan Dasar-Dasar Tamansiswa. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Djuk, Y. (2011, September 18). Peremouan yang Tidak Mengenakan Pakaian Sesuai Syariat Islam, Layak Diperkosa. Retrieved from Kompasiana: www.kompasiana.com/yohanes.djuk/550acde8a33311b10a2e399c/perempuan-yang-tidak-mengenakan-syariat-islam-layak-diperkosa
Gill, R. (2007). Gender and The Media. Cambridge: Polity Press.
Kusumah, M. S. (2017). Constructing Anti Rape-Culture (Membangun Perilaku Sadar Diri Terhadap Potensi Dan Praktik Kekerasan Seksual Melalui Arena Media Sosial). The First International Conference on Education, Literature, adn Art (ICELA), 1107-1120.
Nata, A. (2005). Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Putri, A. W. (2018, Desember 31). 2018 Jadi Tahun yang Buruk Bagi Korban Kekerasan Seksual (Ed: Windu Jusuf). Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/2008-jadi-tahun-yang-buruk-bagi-korban-kekerasan-seksual-dcKw
Sudarto, K. T. (2008). Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Tauchid, M. (2004). Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara. Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa.
Tauchid, M., Soeratman, S., Lahade, R. S., Soendoro, & Abdurrachman. (1962). Karya K.H Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Wazier, A. (2013, Agustus 2). Hidup Itu Seperti Diperkosa. Retrieved from Kompasiana: www.kompasiana.com/ahmadwazier/552972c8f17e61fb718b4588/hidup-itu-seperti-diperkosa
Yulianto, W. E. (2016). Ketidaksadaran Patriarkal dan Budaya Perkosaan Dalam Sastra. Suluk, Edisi 12, 20-23.







[1] Dapat diperiksa pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang diterbitkan setiap 8 Maret. CATAHU ini dapat diakses dengan mudah di internet.

[2] Contohnya dalam cerpen berjudul Es Krim karya Bernard Batubara. Dalam dialog yang berbunyi “… dalam dua jam, saya ditiduri sepuluh laki-laki.” Penggunaan kata “ditiduri” untuk menyebutkan perkosaan dianggap menormalisasi perkosaan sebab kata “ditiduri” jelas sangat berbeda dnegan tindakan kejam seperti perkosaan. Cerpen ini juga dikritik  ide ceritanya yang menceritakan korban perkosaan sembuh dari traumanya karena es krim. Hal ini dikritik karena penulis dianggap memandang perkosaan sebagai sesuatu yang ringan.


*******
Disclaimer: Tulisan ini pernah menjadi juara dalam Lomba Esai Mahasiswa Tingkat Nasional Event Literasi Anak Bangsa namun telah saya tarik karena tidak adanya kejelasan tindak lanjut oleh panitia lomba.

Komentar