Pendidikan Sebagai Investasi Bangsa Bebas Korupsi

Sumber: Gov.uk



Korupsi merupakan salah satu permasalahan besar yang sedang dihadapi di negara kita. Korupsi menimbulkan kerugian besar, menghambat kemajuan ekonomi, dan memiskinkan rakyat. Jika diurai, salah satu proses pemiskinan yang terjadi dimulai dari korupsi di ranah politik atau pemerintahan menghambat investasi. Lalu, terhambatnya investasi menyebabkan ketertinggalan ekonomi. Pada akhirnya, masyarakat akan semakin terjebak dalam kemiskinan, hanya para koruptor yang semakin kaya. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa korupsi adalah bentuk pemiskinan terstruktur. Oleh karenanya, korupsi harus dijadikan perhatian besar.

Hal yang menjadi pertanyaan besar adalah “mengapa korupsi tumbuh subur di negara kita?” Hal ini penting dijawab untuk menemukan akar permasalahan dan mengubahnya. Untuk mengubah sesuatu, pendekatan yang digunakan selalu berputar pada dua hal yaitu struktural dan kultural. Pendekatan struktural berhubungan dengan peraturan dan sistem di pemerintahan, misalnya seperti transparansi penggunaan anggaran serta independensi lembaga hukum dan lembaga pemberantasan korupsi. Sementara itu, pendekatan kultural terkait dengan integritas para pejabat dan masyarakat pada umumnya.

Dari segi struktural, salah satu hal yang disoroti dalam hal ini yaitu isu mengenai pelemahan KPK. Hal ini tentunya bisa menjadi perdebatan, namun yang jelas permasalahan ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dalam pengawasan berdasarkan laporan Tranparency International 2019. Masalah ini pun diperparah oleh carut marut proses hukum kasus penyiraman air keras terhadap komisioner KPK, Novel Baswedan yang membuat rakyat semakin skeptis terhadap pemberantasan korupsi. Pada intinya, kedua masalah ini semakin memperlihatkan bahwa secara struktural, Indonesia masih berada dalam garis merah pemberantasan korupsi.

Pendekatan struktural dan kultural tentunya harus terus dikawal secara bersamaan. Namun, jika ditelusuri, kacaunya struktur disebabkan karena kultur yang buruk. Hal ini karena pada akhirnya, kultur pejabat dan masyarakat yang tidak berintegritas mempengaruhi bagaimana terbentuknya sistem yang tidak mencerminkan anti korupsi. Dalam artian, sistem tersebut menyebabkan mudahnya terjadinya korupsi dan lemahnya penegakan hukum bagi tindak pindana korupsi. Dengan kata lain, pendekatan kultural sebenarnya merupakan jalan panjang untuk menghapuskan korupsi. Sebab, di ranah kultural, kita berurusan dengan pembentukan integritas. Oleh karena itu, penting untuk membahas bagaimana pendekatan kultural digunakan dalam mencegah korupsi.

Pendekatan kultural bisa dilakukan dengan pendidikan, baik formal maupun informal. Namun, pendidikan formal adalah pendidikan yang paling bisa dikontrol dan direncanakan secara terstruktur. Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat Indonesia di mana pendidikan masyarakat, terutama orang tua belum merata. Maka, tanggung jawab pendidikan anti-korupsi lebih baik dibebankan lebih banyak kepada lembaga pendidikan formal, mulai dari sekolah hingga kampus.

Salah satu kritik yang bisa diberikan kepada sistem pendidikan Indonesia adalah mengenai prioritas pengajaran. Pendidikan kita lebih mengutamakan pengetahuan dibanding dengan pembentukan karakter. Padahal pembentukan karakter sangatlah penting sebagai basis agar ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh murid dapat digunakan sebagaimana mestinya, bukan untuk menyiasati jabatan dan sistem. Di Jepang, anak-anak di sekolah dasar belum diajarkan pelajaran seperti matematika dan lain-lain, namun terlebih dahulu diajarkan etika. Terbukti, pejabat publik di Jepang lebih memiliki integritas.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana bentuk nyata pendidikan karakter yang bisa diimplementasikan di Indonesia untuk membentuk generasi yang berintegritas dan anti-korupsi? Salah satu contoh data ditarik dari kearifan lokal Bugis-Makassar. Dalam masyarakat Bugis-Makassar dikenal budaya siri’ atau budaya malu. Seperti namanya, budaya ini menanamkan rasa malu dalam diri setiap individu agar tidak melanggar norma dan mencoreng diri, keluarga, dan masyarakat. Hal ini mulai banyak dilupakan dalam masyarakat, padahal budaya ini bisa menumbuhkan integritas untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma, termasuk korupsi. Namun tidak ada kata terlambat untuk kembali menghidupkan budaya ini melalui pendidikan formal.

Penanaman budaya siri’ hanyalah salah satu cara yag bisa dilakukan dalam pendidikan karakter. Pada intinya adalah, harus ada revolusi mendasar untuk lebih mengutamakan pembentukan karakter di dalam pembelajaran dibanding sekedar hanya meningkatkan pengetahuan umum siswa. Dibanding mendorong siswa untuk mendapat nilai setinggi-tingginya, lebih utama untuk mengajarkan siswa bahwa nilai harus didapatkan dengan sejujur-jujurnya. Di universitas pun, seharusnya tidak ada halangan-halangan untuk melakukan diskusi seperti pembatasan ruang akademik yang sering dilakukan belakangan ini. Semua ini perlu dilakukan dalam rangka mengajarkan kejujuran dan keterbukaan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan karakter kepada generasi muda itu ibaratnya seperti investasi. Diharapkan bahwa pendidikan yang didapatkan oleh generasi muda dari SD hingga kuliah bisa diterapkan ketika mereka memasuki ranah politik maupun ekonomi. Untuk melihat hasilnya memang tidak seketika, namun ke depannya akan membentuk budaya yang lebih bersih dan berkeadilan, jauh dari korupsi. Maka, sangat penting untuk segera melaksanakannya agar hasilnya lebih cepat terlihat. Bagaimanapun, nasib bangsa di masa depan ada di tangan pemuda. Maka, mereka pantas mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya.


Komentar