Karhutla Tanggung Jawab Bersama

nature.org



Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan bahwa pada tahun 2020 ini, seluas 38.772 hektar hutan dan lahan telah terbakar di berbagai wilayah di Indonesia. Angka ini sudah cukup tinggi padahal belum juga mencapai penghujung tahun. Memasuki musim kemarau ini pun, dikhawatirkan kasus karhutla akan bertambah. Terlebih lagi, BMKG telah memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini lebih kering dari biasanya.

Kebakaran hutan dan lahan selalu meresahkan sebab membawa kerugian besar pada ekonomi, mengancam nyawa manusia, serta merusak ekosistem lingkungan. Namun, salah satu hal yang harus pula ditonjolkan dalam narasi karhutla adalah masalah meningkatnya emisi karbon. Bagaimanapun, Karhutla merupakan penyumbang emisi karbon terbesar setelah energi. Meningkatnya emisi karbon akan memperparah masalah perubahan iklim dan membawa dampak bahaya ke depannya. Oleh karena itu, saya tertarik membahas karhutla dari segi kaitannya dengan perubahan iklim.

Saya sendiri tinggal di Sulawesi Selatan dan sangat bersyukur sebab tidak pernah merasakan kebakaran hutan. Saya hanya pernah menyaksikan kebakaran hutan dari TV dan media sosial. Saya ikut ketakutan melihat bagaimana api melalap pohon-pohon, hewan, dan bahkan manusia. Maka, saya hanya bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka yang harus selalu berada dalam kekhawatiran setiap musim kemarau sebab api besar bisa datang kapan saja

Rasa keterpanggilan saya untuk menulis masalah karhutla meskipun belum pernah merasakan langsung bukanlah sekedar rasa simpati, melainkan karena pemikiran bahwa karhutla sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama. Bagi saya, kehidupan di bumi ini saling terkait satu sama lain. Kita, individu dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah yang bukan titik panas bisa jadi turut menyumbang ke dalam potensi terbakarnya hutan. Sebab, pola hidup kita bisa jadi menyumbang ke pemanasan global dan menyebabkan risiko kebakaran hutan di daerah-daerah tertentu menjadi lebih tinggi.

Keterkaitan kita dengan kebakaran hutan bukan hanya soal bagaimana kita sedikit atau banyak bertanggung jawab menjadi penyebab, melainkan juga pada fakta bahwa dampaknya akan menjadi masalah kita semua. Meskipun karhutla terjadi di Kalimantan atau Sumatera sementara kita tinggal di daerah lain, kita juga akan merasakan dampaknya cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung. Sebab, kebakaran hutan berarti berkurangnya paru-paru dunia, yang juga berarti berkurangnya penyedia oksigen dan penghisap karbon dioksida di bumi. Maka, di manapun kebakaran hutan terjadi, kita makhluk bumi akan terkena dampak.

Maka, kita bisa melihat lingkaran setan di atas; perilaku kita membuat pemanasan global semakin parah, lalu pemanasan global meningkatkan risiko kebakaran hutan, lalu kebakaran hutan menyebabkan emisi karbon meningkat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Singkatnya, perilaku manusia menyebabkan penderitaan manusia, entah dalam generasi atau lintas generasi. Oleh karena itulah, penting bagi kita untuk lebih memerhatikan pola hidup kita agar lebih ramah lingkungan.

Kita mungkin merasa bahwa “memangnya perubahan apa yang bisa kita bawah jika kita mengubah pola hidup kita sehari-hari menjadi lebih ramah lingkungan? Toh, kita hanya satu individu”. Tapi, kita tidak bisa bergantung pada pemikiran bahwa biar orang lain saja yang menjaga lingkungan, sebab bagaimana jika banyak orang lain juga yang berpikiran sama? Maka, bayangkan sudah berapa orang yang abai dan kerusakan yang disumbangkan.

Kita mungkin juga merasa “ah tidak apa-apa jika saya hidup tidak menjaga lingkungan, biar orang-orang lain saja. Satu orang kan tidak begitu berpengaruh." Padahal, satu orang saja bisa menyumbang berapa kerusakan bagi lingkungan. Satu orang bisa menyumbang beberapa plastik, menghabiskan beberapa energi, air, dan lain-lain. Maka, setiap kita ingin menggunakan kendaraan, menggunakan plastik, menggunakan listrik, membeli sesuatu, mari memikirkan konsekuensinya terhadap bumi. Mari memikirkan berapa emisi karbon yang dihasilkan dari perilaku tersebut.

Ketika kita melihat karhutla di daerah lain, kita mungkin mungkin bertanggungjawab lebih dari yang kita kira. Mari selalu ingat bahwa kita hidup di planet yang sama dan kita lebih terkoneksi dari yang kita bayangkan. Setiap ingin melakukan sesuatu, mari kita ingat kembali bahwa waktu itu berjalan linear, apa yang dilakukan manusia di masa lalu mempengaruhi manusia saat ini dan apa yang dilakukan manusia saat ini akan mempengaruhi manusia di masa depan.

Terakhir, sebab kita berada di tengah pandemi, mari mengambil kesempatan ini untuk belajar. Pandemi ini bukanlah pandemi pertama yang dihadapi umat manusia. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa pandemi akan terjadi lagi di masa depan. Kita bisa belajar dari sejarah bahwa kerusakan lingkungan membuat kita semakin sulit menghadapi krisis-krisis tidak terduga seperti pandemi ini. Contohnya, kita seharusnya menghirup udara bersih di tengah pandemi ini, tapi ancaman kebakaran hutan dan lahan membuat kita harus waswas bahwa asap akan menyerang pernafasan kita dan membuat Corona lebih mudah menjangkit. Kita seperti menghadapi dua perang. Maka, sekali lagi, mari gunakan kesempatan ini untuk berbenah diri mengenai cara kita memperlakukan lingkungan.

*******


Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini. 

Komentar