png.com |
Saya masih ingat
dengan jelas, belasan tahun yang lalu, malam-malam saya di rumah hanya diterangi
oleh pelita minyak tanah. Bentuknya sangat sederhana, terbuat dari sebuah kaleng
bekas berisi sedikit minyak tanah dengan sumbu di tengahnya. Pelita inilah yang
menemani saya belajar setiap malam. Saya sangat ingat, terkadang saat
asyik-asyiknya belajar, pelita itu padam tertiup angin atau karena minyak
tanahnya habis atau karena sumbunya sudah terlalu pendek. Oleh karena itu, saya
sangat bahagia saat rumah saya akhirnya dipasangi listrik.
covesia.com |
Saat itu, saya
masih kecil, tidak tahu menahu soal harga sebenarnya yang harus dibayar dari
lampu-lampu yang menerangi malam-malam kita. Di benak saya hanya ada kegembiraan
karena akhirnya saya akan lebih mudah jika ingin belajar dan melakukan
aktivitas lainnya. Betapa mudahnya kehidupan karena listrik, pikirku saat itu.
Untuk bisa menyalakan lampu, saya hanya tinggal menekan saklar. Apalagi ketika
kami akhirnya memiliki TV, saya semakin merasa bahwa listrik membawa banyak
kesenangan, setiap saat saya bisa menonton hanya dengan mencolok dan menekan.
Sangat mudah.
Saat itu, tidak
ada sedikitpun kekhawatiran saya soal menghemat listrik, kecuali soal tarif
yang harus dibayar. Saya tidak sadar, bahwa selain tarif, ada harga
sesungguhnya yang harus dibayar, yaitu kerusakan lingkungan. Saya sedikit malu
mengakui, namun saya baru mengenal permasalahan perubahan iklim saat duduk di
bangku kuliah. Tentu saja, saat SD dulu saya belajar tentang fosil dalam
pelajaran IPA, namun yang diajarkan bukan soal bagaimana pemanfaatan fosil itu
mempengaruhi bumi kita. Maka wajar pula jika saya tak tahu menahu soal
bagaimana listrik bisa ada dan proses-proses di baliknya. Saya baru tahu
belakangan bahwa di setiap terangnya pijar lampu, ada cerita-cerita gelap.
Listrik yang
kita nikmati itu berasal dari batu bara yang dikuras sedemikian rupa dalam
sekejap sementara bumi membutuhkan waktu beratus-ratus tahun untuk membentuknya.
Batu bara yang telah ditambang itu diangkut ke pusat-pusat pengolahan dan
ditampung terlebih dahulu dalam coal
stockyard dan kemudian dimasukkan ke boiler.
Di boiler inilah air laut yang telah dinetralkan
dipanaskan menggunakan batubara selama sekitar 6-8 jam hingga menjadi uap. Selanjutnya,
uap tersebut diambil dan kemudian masuk ke dalam turbin, lalu tersambung dengan
generator. Di generator inilah dihasilkan energi listrik yang kemudian mengalir
menuju ke gardu induk. Di gardu induk, listrik ini diolah, untuk bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Proses di atas
hanyalah proses teknis yang belum menunjukan dampak bahaya dari penggunaan
batubara. Maka mari membahas masalah dampak tersebut. Dimulai dari proses
penambangan, sudah banyak dampak buruk yang terjadi, baik dampak lingkungan
maupun sosial. Hal ini karena banyak penambangan yang merusak lingkungan hingga
bahkan mengorbankan nyawa akibat kelalaian perusahaan dalam melakukan prosedur
penimbunan bekas tambang.
Dalam proses
pengolahan batu bara menjadi uap, banyak karbon dioksida yang dilepaskan, yang
tentunya menyumbang terhadap pemanasan global dan perubahan iklim secara
keseluruhan. Kita tentunya bisa bicara panjang soal bagaimana perubahan iklim
akan mempengaruhi bumi dan kita. Bahwa suhu akan semakin panas, banyak daratan
yang tenggelam, air bersih semakin langkah, banyak hewan dan tumbuhan yang
punah, hingga akhirnya masalah kelaparan dan penyakit akan muncul di mana-mana.
Sekarang, mari
kita kembali ke awal bahwa sekarang kita dapat dengan mudah mengakses listrik,
semudah menekan saklar atau mencolok charger.
Namun, kemudahan itu berharga mahal bagi lingkungan kita. Saat kita menekan
saklar atau mencolok alat-alat elektronik, kita juga telah menyumbang untuk
kerusakan lingkungan dan sosial. Maka, mari mengingat hal ini setiap kita akan
menggunakan listrik. Sebab mungkin saja kita terlalu terlena sehingga
menggunakannya di saat sebenarnya kita tidak perlu.
Tentunya saya
tidak mengajak untuk sepenuhnya berhenti menggunakan listrik. Sebab, pada
faktanya, listrik telah menjadi kebutuhan utama kita saat ini. Maka pertanyaannya
adalah “bagaimana memenuhi kebutuhan kita tanpa harus mengorbankan lingkungan?”
Ada beberapa
alternatif yang bisa diambil untuk menghasilkan energi listrik tanpa harus
menggunakan batu bara, misalnya energi nuklir. Ada pula alternatif lain seperti
memasang panel surya untuk menghasilkan listrik di rumah atau gedung-gedung. Namun,
hingga saat ini, batu bara dianggap paling murah dan mudah. Ditambah lagi,
jajaran penguasa di Indonesia banyak yang menjadi pengusaha tambang batu bara.
Maka untuk menuju energi terbarukan, ada tembok besar yang harus dihadapi yaitu
masalah politik.
Maka apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa
melakukan kontribusi kecil dengan bijak menggunakan listrik di rumah, terutama
di masa pandemi ini. Contohnya, mematikan lampu saat tertidur, saat tidak orang
dalam ruangan, dan lain-lain. Kita juga bisa membiasakan diri untuk mencabut
colokan saat tidak digunakan, sebab charger
yang tercolok tetap menghisap listrik meski tidak digunakan.
Hal di atas
sangat sederhana dan bisa dilakukan semua orang. Tidak pula butuh biaya ataupun
skill tertentu seperti memasang panel
surya di rumah. Namun, dampak yang diberikan bisa sangat signifikan. Bayangkan saja
berapa watt listrik yang bisa dihemat Indonesia jika kita semua menerapkan langkah-langkah
sederhana di atas. Menghemat listrik berarti menghemat batubara. Menghemat batu
bara, berarti mengurangi pula dampak yang ditimbulkan.
Tentu kita
berharap suatu saat kita akan beralih sepenuhnya ke energi terbarukan. Maka
sambil menerapkan pola hidup hemat listrik di rumah, jangan lupa pula untuk
mengawal kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan sambil mendorong
kebijakan menuju Energi Terbarukan.
*******************
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Komentar
Posting Komentar