Dewasa
ini, nampaknya sudah semakin banyak orang yang mengakui bahwa kekerasan seksual
itu merupakan hal kejam dan mencederai kemanusiaan. Suara-suara terkait isu
kekerasan seksual semakin kencang. Tentu saja, memang masih banyak permasalahan,
seperti masih maraknya victim blaming dan juga normalisasi kekerasan
seksual. Namun, setidaknya kita bisa mengatakan bahwa ada kemajuan dalam
menyatukan suara dan langkah kita untuk menuntut hak atas kebebasan dari
kekerasan seksual. Sayangnya, tidak semua orang yang mengakui kekerasan seksual
sebagai hal kejam juga mengakui semua bentuk kekerasan seksual, misalnya
perkosaan dalam pernikahan atau marital rape.
Beberapa
waktu yang lalu, tulisan saya yang berjudul “Sahkan RUU PKS: Hapuskan Kekerasan
Seksual Dalam Rumah Tangga” terbit di salah satu media online. Media
tersebut adalah milik sebuah lembaga yang aktif di bidang keberagaman gender
dan seksualitas. Followers Instagram lembaga itu biasanya sangat suportif dalam
upaya penghapusan kekerasan seksual. Oleh karena itu, saya cukup kaget melihat komentar-komentar
mereka terkait tulisan saya. Pada intinya, mereka menganggap saya bodoh karena
mengatakan bahwa perkosaan bisa terjadi dalam pernikahan. Atas dasar inilah,
saya merasa bahwa marital rape adalah bentuk kekerasan seksual yang
paling sering dinormalisasi dan bahkan tidak diakui.
Ada
beberapa komentar terkait marital rape yang menurut saya perlu untuk
dijawab. Pertama, komentar bahwa “seharusnya kasus seperti ini disebut
pemaksaan saja, menyebutnya pemerkosaan justru membingungkan masyarakat.” Komentar
ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang memiliki definisi yang kabur
tentang pemerkosaan. Sebab, jelas sekali bahwa pemaksaan hubungan seksual
merupakan pemerkosaan. Mengatakan bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam
pernikahan bukanlah perkosaan adalah bentuk pengingkaran terhadap apa yang
diupayakan selama ini disuarakan, yaitu bahwa tidak ada satu pun hal yang
membenarkan kekerasan seksual. Seolah kekerasan seksual tiba-tiba bukan
kejahatan jika dilakukan oleh pasangan.
Komentar
lain yang juga sering muncul tentang marital rape yaitu “kan sudah
halal.” Untuk menjawab pernyataan ini, perlu untuk menekankan kembali salah
satu prinsip consent atau persetujuan dalam seks. Prinsip tersebut
sebenarnya sangat sederhana yaitu bahwa “ketika seseorang setuju untuk
melakukan hubungan seksual saat ini, bukan berarti persetujuan itu berlaku
selamanya.” Demikian pun dengan pernikahan. Pernikahan bukanlah persetujuan untuk
hubungan seksual setiap saat, apalagi jika dilakukan dengan paksaan dan
kekerasan. Lagi pula, yang namanya perkosaan tidak pernah halal. Jika ada agama
yang menghalalkan, kita patut mempertanyakan.
Komentar
lain yang juga sangat sering dinyanyikan oleh para pengingkar marital rape
yaitu “Jika suami memaksa hubungan seksual pada istri merupakan perkosaan, maka
istri memaksa meminta uang kepada suami adalah perampokan.” Menurut saya, ini
adalah sebuah analogi pincang. Analogi ini menyempitkan hubungan pernikahan
menjadi sekedar transaksi seks, seolah suami memberi uang dan istri memberikan
seks. Analogi ini juga mengabaikan kenyataan bahwa sekarang semakin banyak
perempuan yang juga bekerja mencari nafkah. Padahal, perempuan pencari nafkah terhalangi
banyak rintangan seperti stereotip dan beban ganda. Maka tidak seharusnya
mendiskreditkan perjuangan mereka dengan analogi-analogi timpang.
Lebih
jauh lagi, analogi tentang “istri merampok” ini memiliki ketimpangan dalam cara
memandang ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga seolah dianggap sekedar “penghabis
uang ” dan “pelayan seks.” Padahal, kerja-kerja ibu rumah tangga sebenarnya
adalah kerja-kerja yang bernilai uang. Beberapa pihak bahkan berpendapat bahwa
ibu rumah tangga semestinya digaji. Coba saja sebutkan daftar pekerjaan yang
harus dilakukan seorang ibu rumah tangga; membersihkan rumah, memasak, mengasuh
anak, hingga menyiapkan kebutuhan suami. Maka, sebenarnya istri memiliki hak
terhadap gaji suami. Terlebih lagi jika uang itu juga digunakan untuk kebutuhan
rumah tangga. Maka, seharusnya tidak ada kata “memaksa” dalam kasus ini.
Komentar-komentar
di atas adalah cerminan bahwa masih banyak orang yang meremehkan kekerasan
dalam rumah tangga. Padahal, rumah tangga merupakan wadah awal terbentuknya
sebuah masyarakat. Keberadaban masyarakat ditentukan oleh keberadaban keluarga.
Jika dalam keluarga saja pemerkosaan ada dan dibiarkan, bagaimana kita bisa
mengharapkan ruang-ruang publik bisa bebas dari kekerasan seksual? Bagaimana
generasi bisa tumbuh menjadi individu-individu merdeka dari kekerasan seksual
jika mereka tumbuh menyaksikan kekerasan seksual di antara orang tua mereka?
Kemungkinannya ada dua mereka akan tumbuh dan berpikir bahwa kekerasan pada
pasangan adalah hal normal atau mereka akan tumbuh dengan membawa trauma seumur
hidup.
Mari kita satukan diksi untuk
melawan semua bentuk kekerasan seksual, termasuk marital rape. Semangat
yang kita usung adalah “Penghapusan Kekerasan Seksual.” Kalimat ini berarti
bahwa tidak satu pun bentuk kekerasan seksual yang boleh dilewatkan untuk
diperangi. Jika kita mencermati komentar-komentar mereka yang mengingkari marital
rape, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat masih memiliki definisi yang kabur atas perkosaan. Maka, dengan
menyuarakan isu marital rape, kita juga berarti menyuarakan
bentuk-bentuk kekerasan seksual serta menegaskan bahwa tidak ada situasi apapun
yang bisa memperbolehkannya, termasuk pernikahan. Dengan demikian, diharapkan
akan terbentuk keluarga yang bebas dari kekerasan seksual sehingga terbentuk
pula masyarakat yang merdeka dari kekerasan seksual.
Komentar
Posting Komentar